Rekaman Puisi Radio Wali Songo

Sudah beberapa bulan yang lalu saya ingat pernah mencari rekaman mp3 puisi ini. Puisi "Tak Berdaya" karya abdul Muthalib ini, sering diputar setiap pagi di Radio Wali Songo Pekalongan, setidaknya lebih dari setahun yang lalu saat saya berada di kota Pekalongan. Tapi sekarang sudah tidak pernah lagi saya mendengarnya karena sudah kuliah di Semarang.

radio wali songo logo pekalongan
Logo Kota Pekalongan

Saya tau, teman teman yang hadir disini juga mencari rekaman dari puisi ini, maka dari itu saya menyatukan orang - orang yang membutuhkan file audio puisi ini. Kalau ada yang punya file audio pusi ini, dengan amat sangat untuk minta dikirimkan filenya kepada saya, melalui email saya wiwit619@gmail.com atau akun facebook saya facebook.com/wiwit.kurniawan.

Puisi "Tak Berdaya" oleh Abdul Muthalib

Pada semburat surya subuh itu,
tak terasakan hari seperti kemarin.
Asing benar suara-suara pagi terdengar.

Kusam cahaya diluar.
Kusam cuaca memudar.
Kusam tanah dilanda lindu.

Bumi goyah bergetar...
Sungguh, matahari tak menjauh melenyap
di sekitar tiba-tiba seluruh jadi gelap.
Tanpa sempat berkata-kata, apa bencana apa azab.
Rebah rumah, desa, kota, rebah jiwa seketika...
... dalam detik, dalam gemuruh suara tak terdetik.

Sungguh, ini murka alam datang berulang.
Rupa kuasa yang selalu teduh telah jadi garang.
Menggunung ombak samudra, menerjang dusun kota.
Menggeliat kerak jagad, jadi gempa merubuhkan segala.
Tumpah bah dari hulu, menghanyutkan tangis derita, sampai ke muara,
sampai ke muara jauhnya Tanya.

Mengapa ketika lengah, lewat senyap kadar tiba?
Sungguh debu manusia, sungguh debu manusia.
Menebar memburam pandang sendiri ke asalnya.
Lupa pada fi’il, pada makna yang papa tak berdaya.
Congkaknya telah membuatnya pandai bertipu muslihat.
Serakahnya, melenyapkan hakekat pada hidup sesaat.
Takaburnya, takaburnya, sudah melangkahi tabu.
mengundang kutuk, mendatangkan laknat yang pilu.

Sungguh tak perlu raungan tangis dalam doa suci.
Kesedihan ragawi hanya merambah dataran duniawi.
Tak sampai ke langit, takkan pernah sampai ke langit.
Selagi wajah yang tengadah dengan tangan menadah,
berkali-kali tak pernah tamat mengeja semua ayat.

Tatkala dibikin siang ada pada malam dan batin pekat.
Tatkala benar, keliru beralih tempat dan akal sesat.
Kenapa hanya ampun… lalu pinta yang terucap?

Sungguh bencana karena alam menanggung gerah.
Tafsirnya pada rakus jadi sifat.
Merusak jadi tabi’at. Bukan kurang sesaji atau lupa belum diruwat.
Azab menghempas lantaran berpaling dari arah.
Dari janji dalam kalam. Dan ingkar pada firman.
Bukan teguran semata, tapi kemarahan yang nyata.

Sungguh, pada ufuk hari itu,
tak ada lagi semburat, rona lembayung atau jingga yang muncul di sana.
Dan tanpa lantunan lirih tembang mocopat,
Kaupun menyeru, beribu nama mesti berangkat.
Lalu waktu berjalan dengan berat.

Oleh Abdul Muthalib.
(Radio PTDI WALISONGO PEKALONGAN)

Puisi ini memang terlihat biasa saja, tapi dengan pembacaan pusi yang khitmat, sangat tersentuh saya, walaupun setiap hari mendengarnya tidak akan pernah bosan, hingga sekarangpun saya masih mencari suara puisi itu yang sudah tidak pernah terdengar oleh telinga saya sejak lebih dari setahun yang lalu. Sebagai sesama penikmat puisi, jangan lupa tinggalkan komentar ya.